Cerita Mesum –
Cerita Hot, Cerita Dewasa, Cerita Sex, Cerita Birahi, Birahi Tinggi,
Cerita Porno, Cerita Film, Film Hot, Film Dewasa, Cerita Porno, Cerita
Seks, Cerita Ngentot, Cerita Panas, Cerita Abg, Foto Bugil, Foto Mesum,
Kimcil, Abg Kimcil, Foto Sex, Foto Dewasa, Pesta Sex, Foto Artis Hot,
Model Hot, Sex Panas, Dunia Sex, Pornografi, Skandal Sex, Tante Girang,
Sex Tante, Cewek Bispak, Nafsu Tinggi, Nafsu Birahi, Sex Selingkuh, Sex
Sedarah, Anak Kost, Abg Sange, Tante Sange, Mahasiswi Sange, Sex
Mahasiswi, Mahasiswi Bispak. Suatu sore ketika aku
berjalan-jalan di sekitar Pasar Ramayana ada seorang wanita mendahuluiku
berjalan tergesa-gesa. Isengku timbul, sambil kususul kupanggil dia
dari belakang.
“Da, Ida!”
Dia menoleh ke belakang tersenyum dan memperhatikanku.
“Siapa ya?” tanyanya.
“Maaf, maaf kukira temanku,” sahutku, “Kebetulan dia bernama Ida”.
“Mau ke mana sih?” tanyaku sambil kuulurkan tangan mengajak berkenalan. “Saya Anto”.
“Ida, Farida” jawabnya sambil menyambut tanganku.
“Sebenarnya saya mau nonton di Ramayana Theatre, tapi sudah terlambat lagipula filmya nggak bagus”, sambungnya lagi.
“Sekarang mau kemana lagi” pancingku.
“Nggak ada, mau pulang aja” jawabnya.
“Jalan yuk ke Sukasari”.
“Mau ngapain?”
“Jalan aja, kalau ada film bagus kita nonton di sana aja”.
“Ayolah, kebetulan aku juga nggak ada acara, daripada bengong di rumah”.
“Maaf, maaf kukira temanku,” sahutku, “Kebetulan dia bernama Ida”.
“Mau ke mana sih?” tanyaku sambil kuulurkan tangan mengajak berkenalan. “Saya Anto”.
“Ida, Farida” jawabnya sambil menyambut tanganku.
“Sebenarnya saya mau nonton di Ramayana Theatre, tapi sudah terlambat lagipula filmya nggak bagus”, sambungnya lagi.
“Sekarang mau kemana lagi” pancingku.
“Nggak ada, mau pulang aja” jawabnya.
“Jalan yuk ke Sukasari”.
“Mau ngapain?”
“Jalan aja, kalau ada film bagus kita nonton di sana aja”.
“Ayolah, kebetulan aku juga nggak ada acara, daripada bengong di rumah”.
Sambil ngobrol akhirnya kuketahui bahwa
Ida bekerja di sebuah showroom mobil di Jakarta. Ia janda cerai beranak
satu. Sudah dua tahun ia menjanda. Umurnya lima tahun di atasku. Tinggal
di daerah Warung Jambu, kost dengan beberapa temannya. Perawakannya
sedang, tinggi 160 cm dengan badan yang agak kurus dan dada kecil.
Wajahnya lumayan, kalau dinilai dapat angka tujuh. Kacamata minus satu
nongkrong di hidungnya.
Sampai di Sukasari Theatre ternyata film sudah diputar setengah jam.
“Sekarang bagaimana?” tanyaku.
“Terserah kamu saja”.
“Terserah kamu saja”.
Kuajak dia jalan mutar-mutar di Matahari
lihat-lihat baju dan kosmetik. Akhirnya dia ngajak minum jamu di kedai
dekat jalan. Tiba-tiba saja dia menggandeng lenganku berjalan ke kedai
jamu tersebut.
“Mau minum sari rapet” godaku.
“Nggak ah, saya biasanya minum sehat wanita saja”.
“Nggak ah, saya biasanya minum sehat wanita saja”.
Akhirnya dia pesan jamu sehat wanita dan
aku minum sehat lelaki. Setelah minum jamu duduk-duduk sebentar di sana
dan kami kembali ke Sukasari Theatre. Tak berapa lama loket buka.
“Jadi nonton?” tanyaku, “Tentu saja jadi, buat apa nunggu lama-lama di sini?”.
Aku ke loket beli tiket. Dan kembali
duduk di sampingnya di lobby. Suasana kelihatan sepi, hanya ada beberapa
orang saja yang duduk-duduk di lobby. Sukasari Theatre memang bukan
bioskop favorit di Bogor. Kalah sama Sartika 21 yang baru dibuka.
Akhirnya kami masuk ke dalam bioskop,
kemudian film mulai diputar. Beberapa lama kemudian tangannya menyusup
ke lenganku. Aku diam saja. Ida semakin merapat. Aku berpaling dan
menatap wajahnya. Ia tersenyum dan membuka mulutnya sedikit. Tampak
giginya yang berderet rapi. Ia menyorongkan mukanya ke arahku dan
mencium pipiku. Aku sedikit kaget atas tindakannya. Aku melepaskan
tangannya dari lengan kiriku, lalu kulingkarkan ke bahu kirinya. Muka
kami berdekatan. Kutatap lagi wajahnya dan perlahan-lahan muka kami
saling mendekat. Matanya agak terpejam dan mulutnya terbuka. Kukecup
bibirnya pelan dan lama-lama menjadi ciuman yang dalam. Kacamatanya
menghalangi aksiku, kuminta dia melepas kacamatanya. Kuremas dada
sebelah kirinya dari luar baju dengan tangan kiriku. Ia menolak dan
menepiskan tanganku, tetapi dibiarkan tanganku memeluk bahunya.
Praktis kami nggak konsentrasi lagi ke
cerita film yang sedang diputar. Sepanjang pemutaran film itu kami
saling merapat dan berciuman. Kadang-kadang lidah kami saling mendesak
ke dalam rongga mulut, bergantian kadang lidahnya menggelitik rongga
mulutku, kadang lidahku yang masuk ke dalam mulutnya. Ia mendesah
menahan dorongan nafsunya yang tertahan sekian lama.
Film habis, kami keluar dan berjalan mencari angkutan.
“Kalau sudah malam begini dari sini susah cari angkutan ke rumahku ” katanya.
“Jadi bagaimana?”
“Kita coba saja ke Ramayana, nanti disambung lagi”.
“Jadi bagaimana?”
“Kita coba saja ke Ramayana, nanti disambung lagi”.
Akhirnya kami dapat angkutan, tetapi
hanya sampai Pajajaran saja. Kami turun di depan pintu Kebun Raya yang
di Pajajaran. Kami menungu lagi di situ.
“Jam segini nggak ada lagi angkutan ke Warung Jambu kali ya?” tanyaku.
“Kelihatannya sih nggak ada lagi. Kita cari penginapan saja yuk, saya pernah nginap rame-rame dengan teman-teman di satu penginapan. Agak murah, tapi saya lupa tempatnya”.
“Kelihatannya sih nggak ada lagi. Kita cari penginapan saja yuk, saya pernah nginap rame-rame dengan teman-teman di satu penginapan. Agak murah, tapi saya lupa tempatnya”.
Sekilas terpikir olehku Wisma T dekat Pasar Kebon Kembang.
“Benar nih mau nginap? Saya tahu ada penginapan yang bersih dan murah”.
Setelah lima belas menit menunggu ada mobil omprengan plat hitam berhenti di depan kami.
“Kemana Pak? Mari saya antar” tanya sopir sambil membuka kaca jendelanya.
Kami naik dan minta diantar ke Wisma T.
Sampai di sana ternyata hanya ada kamar standar double bed. Setelah
menyelesaikan bill, kami berdua masuk ke kamar. Di dalam kamar kami
rapatkan dua bed yang ada. Karena agak gerah kubuka kausku. Ida hanya
memandang dan tersenyum saja. Kami berbaring berdampingan di bed
masing-masing.
“Boss-nya yang punya showroom orang mana sih?”
“Keturunan Arab” Jawabnya.
“Asyik dong pasti gede punya barangnya. Kamu sering diajak sama boss dong “.
“Nggak pernah kok”. Entah dia berbohong atau benar.
“Terus kalau tiba-tiba kepengen gimana?” Ida hanya diam saja.
“Keturunan Arab” Jawabnya.
“Asyik dong pasti gede punya barangnya. Kamu sering diajak sama boss dong “.
“Nggak pernah kok”. Entah dia berbohong atau benar.
“Terus kalau tiba-tiba kepengen gimana?” Ida hanya diam saja.
Ida bangun dan kulihat dia membuka celana panjangnya.
“Eh ngapain dibuka?” kataku terkejut.
Ida hanya tersenyum saja. Ternyata dia
mengenakan celana pendek santai sebatas lutut di dalamnya. Kembali Ida
berbaring di bednya. Karena kedua bed sengaja kami susun berhimpitan,
tanganku bisa menjangkau tubuhnya dan kurengkuh mendekat tubuhku.
Kembali kami berciuman. Mula-mula hanya kukecup bibirnya saja dengan
lembut. Ida membalas lembut dan lama kelamaan mulai menjadi liar.
Tangannya memainkan bulu dadaku. Beberapa menit kami saling berciuman
dengan dengus napas yang berat. Kutindih dia sambil berciuman. Meriamku
di bawah mulai bangkit. Ida merapatkan selangkangannya pada
selangkanganku. Mulutku turun ke atas dadanya dan kucoba membuka kancing
blouse nya dengan bibirku dan gigiku.
“Sebentar, aku buka dulu bajuku ya,” Katanya sambil membuka kancing bajunya satu persatu.
“Jangan, nggak usah dibuka” kataku sambil menahan tangannya.
“Nggak apa-apa kok. Kamu mau kan”. Katanya mendesah.
“Jangan, nggak usah dibuka” kataku sambil menahan tangannya.
“Nggak apa-apa kok. Kamu mau kan”. Katanya mendesah.
Ia terus membuka baju dan celana
pendeknya. Kemudian tangannya membuka ikat pinggangku dan akhirnya
menarik ritsluiting dan kemudian dengan perlahan ia menarik celanaku ke
bawah. Kini kami hanya mengenakan pakaian dalam saja.
“Kamu sering mengajak perempuan untuk begini ya?” tanyanya.
“Ah nggak, aku belum pernah kok berhubungan dengan wanita” kataku berbohong. Aku memang sudah beberapa kali berhubungan dengan wanita.
“Nggak percaya, kelihatannya kamu lihai sekali dalam bercumbu tadi”.
“Kalau sebatas ciuman emang sih, tapi untuk lebih jauh lagi belum pernah. Paling hanya nonton film dan baca cerita saja”
“Jadi kamu masih perjaka?” ia meyakinkan lagi.
“Emangnya kenapa?”
“Eehhngng..” Ia mendesah ketika lehernya kujilati.
“Ah nggak, aku belum pernah kok berhubungan dengan wanita” kataku berbohong. Aku memang sudah beberapa kali berhubungan dengan wanita.
“Nggak percaya, kelihatannya kamu lihai sekali dalam bercumbu tadi”.
“Kalau sebatas ciuman emang sih, tapi untuk lebih jauh lagi belum pernah. Paling hanya nonton film dan baca cerita saja”
“Jadi kamu masih perjaka?” ia meyakinkan lagi.
“Emangnya kenapa?”
“Eehhngng..” Ia mendesah ketika lehernya kujilati.
Ida menindihku dan tangannya kebelakang
punggungnya membuka pengait bra-nya. Kini terbukalah dadanya di
hadapanku. Buah dadanya tidak besar, hanya pas setangkupan jariku.
Terasa sudah agak kendor. Ida mendorong lidahnya masuk jauh ke dalam
rongga mulutku. Lidahnya liar memainkan lidahku. Aku hanya pasif saja,
sesekali membalas mendorong lidahnya. Tanganku memilin puting serta
meremas payudaranya. Ida menggeserkan tubuhnya ke bagian atas tubuhku
sehingga payudaranya pas di depan mulutku. Segera kuterkam payudaranya
dengan mulutku. Putingnya kuisap pelan dan kugigit kecil.
“Aaacchh, teruskan Anto.. Teruskan”. Ia mulai mengerang dan meracau, punggungnya melengkung ke belakang.
Meriamku semakin keras. Ida semakin
merapatkan selangkangannya pada selangkanganku, sehingga kadang terasa
agak sakit jika dia terlalu keras menindihku. Puting dan payudaranya
semakin kencang dan keras. Kukulum payudaranya sehingga semuanya masuk
ke dalam mulutku, sambil putingnya terus kumainkan dengan lidahku.
Dadanya terlihat memerah dan menjadi lebih gelap dibanding bagian tubuh
lainnya pertanda nafsunya mulai terbakar. Napasnya tersengal-sengal.
Tangan Ida bergerak ke bawah menyelusup
di balik celana dalamku, meremas, mengocok dan menggoyang-goyangkan
senjataku. Akhirnya dia menarik celana dalamku sampai ke lutut dan
dengan bantuan jari kakinya ia melepaskannya ke bawah. Kini aku dalam
keadaan telanjang bulat. Ida menggeserkan mulutnya ke arah bawah,
menjilati leher dan menggigit kecil daun telingaku. Hembusan napasnya
terasa kuat menerpa tubuhku. Dia mulai menjilati putingku. Aku
terangsang hebat sekali sehingga harus menggeleng-gelengkan kepalaku
untuk menahan rangsangan ini. Kupeluk pinggangnya erat-erat.
Tangannya kemudian membuka celana
dalamnya sendiri. Kini tangan kiriku leluasa bermain di antara
selangkangannya. Rambut kemaluannya tidak begitu lebat dan
pendek-pendek. Dengan jari telunjuk dan jari manis kubuka labia mayora
dan labia minoranya. Jari tengahku menekan bagian atas organ
kewanitaannya dan mengusap bagian yang menonjol seperti kacang tanah.
Setiap aku mengusap kelentitnya Ida menggigit kuat dadaku dan mengerang
tertahan.
“Aaauhh.. Ngngnggnghhk”
Mulutnya bergerak semakin ke bawah,
bermain-main dengan bulu dada dan perutku, terus semakin ke bawah,
menjilati bagian dalam lutut dan pahaku. Sendi-sendi kakiku terasa mau
lepas. Tangannya masih bermain-main di kejantananku. Kini mulutnya mulai
menjilati kantung penisku. Tanganku meremas-remas rambutnya untuk
mengimbanginya. Aku pikir dia mau meng-oral, tetapi ternyata tidak, dia
hanya sampai pada kantung penis saja. Aku hanya menunggu dan mengimbangi
gerakannya saja, seolah-olah aku belum pernah melakukan hal ini.
Kembali Ida bergerak ke atas, tangan
kirinya memegang dan mengusap kejantananku yang telah berdiri mengeras.
Ia dalam posisi jongkok di atas selangkanganku. Perlahan lahan ia
menurunkan pantatnya sambil memutar-mutarkannya. Agak susah dia
kelihatannya berusaha memasukkan kejantananku ke liang vaginanya.
Mungkin benar juga setelah menjanda dia tidak pernah merasakan lagi
nikmatnya berhubungan badan. Penisku memang lebih besar di bagian ujung
daripada pangkalnya. Kepala kejantananku dijepit dengan kedua jarinya,
digesek-gesekkan di mulut vaginanya. Terasa hangat dan lembab, lama-lama
seperti berair. Dia mencoba lagi untuk memasukkan kejantananku. Kali
ini..
Blleessh.. Usahanya berhasil.
“Ouhh.. Ida ouhh” kini aku yang setengah berteriak.
Ida bergerak naik turun dalam posisi
setengah jongkok. Mula-mula perlahan-lahan dia menggerakkannya, karena
memang terasa masih agak kesat dan kering. Aku mengimbanginya dengan
memutar pinggulku dan meremas payudaranya. Kepalanya mendongak ke atas
dan bergerak ke kanan kiri. Kedua tangannya bertumpu pada pahaku. Ketika
lendirnya sudah membasahi organnya Ida mempercepat gerakannya,
kadang-kadang dibuatnya tinggal kepala penisku saja yang menyentuh mulut
vaginanya.
Ida menghentikan gerakannya, merebahkan
tubuhnya di atasku dan kini terasa otot vaginanya meremas penisku.
Terasa nikmat sekali. Aku mengimbanginya, ketika dia relaksasi aku yang
mengencangkan otot perutku seolah-olah menahan kencing. Demikian
bergantian kami saling meremas dengan otot kemaluan kami. Beberapa saat
kami dalam posisi itu tanpa menggerakkan tubuh, hanya otot kemaluan saja
yang bekerja sambil saling berciuman dan memagut tubuh kami.
“Anto, .. Nikmat sekali .. Ooouuhh” desisnya sambil menciumi leherku.
Ida berguling ke samping, kini dalam
posisi menyamping aku yang bergerak maju mundur menyodokkan kejantananku
ke dalam vaginanya. Dalam posisi ini gerakanku menjadi kurang nyaman
dan kurang bebas. Kugulingkan lagi tubuhnya, kini aku yang berada di
atas. Kuatur gerakanku dengan ritme pelan namun dalam sampai kurasakan
kepala penisku menyentuh mulut rahimnya. Kuangkat penisku sampai keluar
dari vaginanya dan kumasukkan lagi dengan pelan, demikian
berulang-ulang. Ketika penisku menyentuh rahimnya Ida mengangkat
pantatnya sehingga tubuh kami merapat.
“Lebih cepat lagi, oohh.. Aku mau keluar
aacchhkk..” Ida memeluk punggungku lebih erat. Betisnya membelit
pinggangku, matanya setengah terpejam, kepalanya terangkat sehingga
seolah-olah tubuhnya menggantung di tubuhku.
Kuubah ritmeku, kugerakkan dengan pelan
namun hanya ujung penisku saja yang masuk beberapa kali kemudian sekali
kutusukkan dengan cepat sampai seluruh batang terbenam. Matanya semakin
sayu dan gerakannya semakin liar. Aku mendadak menghentikan gerakanku.
Payudaranya sebelah kuremas dan sebelah lagi kukulum dalam-dalam. Tubuh
Ida bergetar seperti menangis.
“Ayo jangan berhenti, teruskan.. Teruskan lagi” pintanya.
Aku tahu wanita ini hampir mencapai
puncaknya. Kugerakkan lagi tubuhku. Kali ini dengan ritme yang cepat dan
dalam. Semakin lama semakin cepat. Terdengar bunyi seperti kaki
diangkat dari dalam lumpur ketika penisku kunaikturunkan dengan cepat.
“Ayolah Anto, aku mau sampai “.
Gerakan pantatku semakin cepat dan akhirnya
“Sekarang.. Anto.. Sekarang.. Yeeah!!”
Kurasakan tubuhnya menegang, vaginanya
berdenyut dengan cepat, napasnya tersengal dan tangannya meremas
rambutku. Kukencangkan otot perutku dan kutahan, terasa ada aliran lahar
yang mau meledak. Aku berhenti sejenak dalam posisi kepala penis saja
yang masuk dalam vaginanya, kemudian kuhempaskan dalam-dalam. Serr..
Seerr beberapa kali laharku muncrat di dalam vaginanya. Ida hendak
berteriak untuk menyalurkan rasa kepuasannya, namun sebelum keluar
suaranya kusumbat mulutnya dengan bibirku.
“MMmmhh.. Achh” pantatnya diangkat
menyambut hunjamanku dan tubuhnya bergetar, pelukan tangan dan jepitan
kakinya semakin erat sampai aku merasa kesulitan bernafas, denyutan di
dalam vaginanya terasa kuat sekali meremas kejantananku. Setelah satu
menit denyutannya masih terasa sampai penisku terasa ngilu.
Ketika penisku mau kucabut dia menahan tubuhku.
“Jangan dicabut dulu, biarkan saja di
dalam. Ouhh kamu hebat sekali Anto. Terima kasih kamu telah memuaskanku”
Ida mengecup bibirku.
Kubiarkan dia memelukku sampai penisku
mengecil dan akhirnya keluar sendiri dari vaginanya. Malam itu dalam
waktu kurang lebih tujuh jam kami bertempur sampai enam ronde. Paginya
dia memelukku dan berkata,
“Aku mau lagi di lain hari”.
“Ah kamu nakal, perjakaku kamu ambil”.
“Kamu yang nakal, kamu yang mulai”.
“Ah kamu nakal, perjakaku kamu ambil”.
“Kamu yang nakal, kamu yang mulai”.
Kupeluk dia dan kuangkat ke kamar mandi
untuk mandi dan membersihkan diri. Akhirnya kuantar dia pulang dan aku
berjanji untuk datang lagi ke rumahnya. Ternyata dia tinggal serumah
dengan beberapa teman-temannya. Semuanya wanita, sebagian janda dan
sebagian lagi masih gadis. Mereka masing-masing punya pekerjaan tetap.
Beberapa minggu kemudian ketika hari
libur aku ke rumahnya. Ternyata rumahnya kosong. Kata tetangganya
semuanya lagi ke Cibadak. Aku pulang lagi. Beberapa hari kemudian aku
kembali ke rumahnya. Kuketuk pintu depan. Tak lama pintu terbuka dan
seorang wanita keluar dari dalam.
“Cari siapa ya?” tanyanya.
“Ida ada?”
“Oh ada. Silakan masuk dulu, dia lagi di kamar”.
“Ida ada?”
“Oh ada. Silakan masuk dulu, dia lagi di kamar”.
Aku masuk dan duduk di ruang tamu. Wanita
tadi, temannya, masuk ke ruang dalam. Tak lama Ida keluar. Wajahnya
terlihat berantakan.
“Sorry, habis baring-baring di kamar.
Habis mandi agak siang tadi lalu mengantuk” katanya sambil mengulurkan
tangannya. “Kok nggak pernah ke sini lagi?”.
Kusambut tangannya dan “Waktu libur
kemarin aku ke sini tapi kosong, nggak ada orang sebiji acan. Kata
tetangga sebelah ke Sukabumi”.
“Iya, memang waktu itu rame-rame ke rumah teman kost di sini. Ke Cibadak beberapa hari. Tunggu sebentar aku ambilkan air” katanya sambil berlalu.
“Nggak usah repot-repot”.
“Ah. Nggak kok cuma air putih saja”.
“Iya, memang waktu itu rame-rame ke rumah teman kost di sini. Ke Cibadak beberapa hari. Tunggu sebentar aku ambilkan air” katanya sambil berlalu.
“Nggak usah repot-repot”.
“Ah. Nggak kok cuma air putih saja”.
Ia kembali dengan membawa nampan berisi segelas air putih. Mukanya terlihat sudah lebih rapi.
“Diminum ya, cuma air putih. Nggak ada temannya”.
“Cukup kok, terima kasih” jawabku sambil meminum air di dalam gelas sampai setengahnya.
“Cukup kok, terima kasih” jawabku sambil meminum air di dalam gelas sampai setengahnya.
Ida menarik kursi dan duduk di dekatku. Ia tersenyum-senyum. Mungkin membayangkan peristiwa waktu itu.
“Kenapa senyum-senyum sendiri. Bahaya, nanti keterusan” kataku.
“Ah nggak, cuma.. Hmm” Ia tidak melanjutkan kalimatnya.
“Mau diulangi di sini?”
“Hussh, nggak enak sama teman-teman. Prinsipnya sih mereka nggak mau campur urusan orang, tapi jangan di sini”.
“Kalau begitu kita jalan aja yuk!” ajakku.
“Boleh, tapi tunggu sebentar aku ganti baju dulu” katanya sambil berjalan.
“Ah nggak, cuma.. Hmm” Ia tidak melanjutkan kalimatnya.
“Mau diulangi di sini?”
“Hussh, nggak enak sama teman-teman. Prinsipnya sih mereka nggak mau campur urusan orang, tapi jangan di sini”.
“Kalau begitu kita jalan aja yuk!” ajakku.
“Boleh, tapi tunggu sebentar aku ganti baju dulu” katanya sambil berjalan.
Ida keluar lagi. Kami jalan dan nonton
lagi di Sukasari Theatre. Hanya kali ini nggak ada kesempatan untuk
“pemanasan”. Ada penonton lain di samping dan belakang kami. Selesai
film diputar, kami keluar.
“Kemana sekarang kita, Da?”
“Terserah kamu. Aku ikut saja kok”.
Kupegang tangannya “Da, aku mau belajar lagi sama kamu, boleh nggak?”
“Dimana?” Ida balik tanya.
“Kita ke Gadog. Nginap di sana, tapi sebentar ya aku ke apotik dekat situ!”
“Mau beli apa ke apotik?”
“Aku takut kamu hamil, jadi cari pengaman dulu, sarung karet”.
“Nggak usah. Aku nggak mau kalau pakai itu” nada suaranya meninggi.
“Kenapa, kan supaya kita sama-sama aman”.
“Aku percaya kamu bersih dan aku masih ikut KB. Aku belum lepas spiral. Makanya waktu itu aku berani aja. Berapa kali kita waktu itu, tiga atau empat kali kan?” suaranya kembali merendah.
“Enam kali. Ya sudah kalau begitu. Ayo kita berangkat!”
“Terserah kamu. Aku ikut saja kok”.
Kupegang tangannya “Da, aku mau belajar lagi sama kamu, boleh nggak?”
“Dimana?” Ida balik tanya.
“Kita ke Gadog. Nginap di sana, tapi sebentar ya aku ke apotik dekat situ!”
“Mau beli apa ke apotik?”
“Aku takut kamu hamil, jadi cari pengaman dulu, sarung karet”.
“Nggak usah. Aku nggak mau kalau pakai itu” nada suaranya meninggi.
“Kenapa, kan supaya kita sama-sama aman”.
“Aku percaya kamu bersih dan aku masih ikut KB. Aku belum lepas spiral. Makanya waktu itu aku berani aja. Berapa kali kita waktu itu, tiga atau empat kali kan?” suaranya kembali merendah.
“Enam kali. Ya sudah kalau begitu. Ayo kita berangkat!”
Kami berangkat ke Gadog. Sampai di Gadog
kuajak dia ke salah satu wisma yang ada. Ida menunjukkan raut muka
heran. Kami masuk ke kamar. Room boy mengiringkan kami dengan membawa
handuk dan air putih di teko. Setelah room boy keluar Ida menuangkan air
ke dalam gelas yang tersedia, meminumnya sedikit dan mengisinya kembali
hingga penuh, menutup lalu meletakkannya pada meja kecil di samping
bed. Kurogoh kantungku, masih ada permen mint beberapa butir, kuletakkan
di dekat gelas.
“Kamu sering ke sini?”
“Nggak juga, cuma pernah rame-rame dengan teman nginap di sini”.
“Kamu bayar penuh nginap satu malam?”.
“Iya, tapi dapat diskon, kurayu penjaganya. Aku mau mandi dulu, kamu nggak mandi?”
“Sudah tadi mandi di rumah agak siangan”.
“Nggak juga, cuma pernah rame-rame dengan teman nginap di sini”.
“Kamu bayar penuh nginap satu malam?”.
“Iya, tapi dapat diskon, kurayu penjaganya. Aku mau mandi dulu, kamu nggak mandi?”
“Sudah tadi mandi di rumah agak siangan”.
Ida melepas celana panjangnya. Baru
kuperhatikan bahwa ternyata dia mengenakan baju yang sama dengan pakaian
yang dipakai pada pertemuan yang dulu.
“Kamu pakai pakaian yang sama dengan waktu itu ” komentarku.
Aku melepas baju dan celana panjang, ke
kamar mandi berlilitkan handuk. Selesai mandi kembali ke kamar, aku
masih berlilitkan handuk tanpa pakai celana dalam lagi. Kulihat Ida di
bawah selimut, bagian bahunya terbuka. Aku ikut masuk ke bawah selimut
dan melepas handuk yang kukenakan. Ternyata Ida sudah full bugil di
bawah selimut. Kucium lembut bibirnya, kami saling merapatkan badan.
Udara di Gadog cukup dingin, apalagi setelah mandi. Badanku beberapa
kali menggigil.
“Dingin ya?” tanya Ida.
“Lumayan, tapi sekarang sudah mulai hangat”.
“Lumayan, tapi sekarang sudah mulai hangat”.
Tanganku mulai gerilya, merayap di
sekujur tubuhnya. Kurasakan kehangatan merayap ditubuhku. Adik kecilku
mulai bangun, kurapatkan pada pahanya. Ia tertawa kecil, merasakan adik
kecilku yang mendesak dan bergerak membesar di pahanya. Selimut yang
menutupi tubuh kami tersingkap semuanya sehingga tubuh kami terbuka
tanpa ada penutup selembar benangpun.
“Matikan lampunya, kain kordennya berlubang-lubang. Nanti diintip orang!” katanya.
“Nggak usah, aku ingin bercinta sambil melihat wajahmu. Kalau ada yang ngintip paling dia nanti yang kepingin. Biarin aja”.
“Nggak usah, aku ingin bercinta sambil melihat wajahmu. Kalau ada yang ngintip paling dia nanti yang kepingin. Biarin aja”.
Kami mulai berciuman. Gerak tubuhnya
mengisyaratkan keinginannya. Kujilati leher dan dagu kemudian kucium
bagian belakang telinganya. Ia menggelinjang.
“Merinding ah, kamu kok jadi pintar. Jangan-jangan selama ini belajar dengan perempuan lain”.
“Nggak kok, cukup satu gurunya”.
“Nggak kok, cukup satu gurunya”.
Kubalikkan tubuhnya sehinga dia
memunggungiku. Kugigit tengkuknya dan kususuri punggungnya dengan
lidahku. Ia merintih perlahan. Kurasakan ia semakin terangsang.
Kubalikkan tubuhnya dan kutindih setengan tubuhnya.
Kembali kami berciuman. Kali ini dengan
nafsu yang membara. Suara-suara kecipak dan desahan tertahan terdengar
ketika kedua mulut kami beradu dan saling menyedot. Lehernya kucium dan
kujilat, ia makin mendongakkan kepalanya memberi kesempatan kepadaku
untuk menjelajahi lehernya. Tangannya mengusap pipi, leher kemudian
punggungku sampai ke dekat pinggang dan berputar menggesekkan kukunya
perlahan pada kulitku, memberikan sensasi tersendiri. Sementara tangan
kirinya mengusap punggung, tangan kanannya mulai mengelus kantung zakar
dan mengurut batangku mulai dari pangkal ke ujungnya. Mr. P-ku makin
menegang dan membesar. Ida berguling sehingga kini ia di atas. Tangannya
masih mengurut senjataku.
Ia melepaskan diri dari pelukanku dan
membuka tasnya. Kulihat ia mengambil sesuatu, ternyata adalah baby oil
dan eau de toilette. Ida duduk di samping pinggangku menghadap ke arah
kepalaku. Ia menuangkan sedikit baby oil ke tangan kanannya dan kembali
mengurut senjataku.
“Aduh.. Achh, luar biasa nikmat. Ternyata masih ada pelajaran baru yang aku belum tahu”.
Kupegang tangannya menahan kenikmatan.
Dilepaskannya tanganku “Sudah, kamu diam saja. Jangan ganggu aku. Kalau
nggak tahan pegangan kasur dan gigit ujung bantal saja. Kalau terasa mau
keluar bilang”.
Kuikuti perintahnya. Diurutnya terus
penisku yang makin keras. Kepalanya yang besar kelihatan memerah dan
mengkilat terkena baby oil. Aku makin terlena, kadang kuangkat pantatku
menahan rangsangan yang luar biasa.
“Ouhh Ida.. Aku mau keluar, aku mau ke.. Lu.. ar”.
Ida menggenggam dan merenggut kantong
penisku dengan perlahan. Kurasakan rangsangan itu menurun pelan-pelan.
Ida melepaskan genggamannya pada batang penisku. Kini dengan kedua
tangannya ia mengurut pinggangku dari bagian luar ke bawah dalam ke arah
penis. Beberapa menit ia lakukan itu. Kemudian ia menuangkan eau de
toilette dan mencampurnya dengan sedikit baby oil lalu mengusapkannya
pada dada dan perutku. Setelah itu dia berbaring miring menghadap ke
arahku. Kuremas payudaranya yang sebelah kanan dengan kuat karena gemas.
Ia tersenyum kecil dan menggelinjang.
“Sudah istirahatlah dulu, rileks dan buat
pikiranmu menjadi santai. Hilangkan pikiran yang merangsang. Masih ada
babak berikutnya”.
Ida berbaring telentang di sampingku dan
menutupkan matanya. Ditariknya kembali selimut yang tadi sudah terlepas
untuk menutup tubuh kami berdua. Aku mencoba untuk rileks dan
menghilangkan bayangan dan pikiran yang merangsang. Agak susah memang
tapi terus kucoba sambil menarik nafas dalam-dalam. Harumnya eau de
toillette sangat membantu untuk menenangkan pikiranku. Lama-lama
pikiranku menjadi tenang. Kulihat tarikan nafas Ida teratur, tetapi aku
tahu ia tidak tidur meskipun matanya terpejam. Setengah jam lebih
berlalu.
Ida bangun kemudian ke kamar mandi, dalam
keadaan polos. Ketika keluar kulihat ia membawa air dalam gayung, sabun
dan handuk kecil. Ia duduk di sampingku dan membasuh penisku dan
menyabuninya sampai bekas baby oil tadi hilang, kemudian mengelapnya
dengan hati-hati. Setelah selesai ia ke kamar mandi membuang air dalam
gayung tadi.
“Ayo kita masuk babak berikutnya!” Katanya ketika kembali dari kamar mandi.
Aku berpikir apalagi yang akan
dilakukannya. Ia membuka selimut yang masih menutup tubuhku, menindih
dan menciumiku dengan ganas. Harumnya eau de toilette masih tercium. Aku
kembali terangsang dengan cepat oleh aksinya. Ia memberi isyarat agar
aku berada di atas. Adikku yang terangsang sudah mengacung dan siap
menembus guanya. Ida memegang penisku dan mengarahkannya ke lubangnya
yang agak lembab. Kedua kakinya mengangkang lebar dengan lutut agak
diangkat. Kali ini penisku bisa langsung masuk dan menerobos ke dalam
hingga tenggelam sampai ke pangkalnya. Ida memegang pinggulku dan
membantu menggerakkannya ke atas ke bawah. Kupacu kuda betinaku mendaki
lereng kenikmatan. Gerakan kami semakin liar. Erangan dan lenguhan kami
semakin kuat dan sering. Sampai akhirnya aku merasakan hampir sampai ke
puncak kenikmatan. Kupercepat gerakan naik turunku sambil mendesah.
“Ida.. Ouuhh.. Ida, kita sama-sama.. “.
Berbeda dengan kehendakku, Ida malahan mendorong tubuhku dan melepaskan pelukanku. Aku menolaknya.
“Apa-apaan kamu Da!” kataku kecewa.
“Sudahlah lepaskan aku dulu, aku akan memberikanmu sesuatu yang luar
biasa malam ini. Percayalah” katanya lembut sambil mengecup keningku.
Aku berbaring menjauhi tubuhnya dengan hati kecewa dan penuh tanda tanya. Ida mencoba menghiburku.
“Berikutnya aku akan memberikan kepuasan yang lain yang belum pernah kamu peroleh”. Aku masih diam saja.
“Sekarang istirahatlah lagi agak lama dari yang tadi,” sambil berkata begitu jari tangannya memegang erat jari tanganku. Aku menurut saja dan berpikir lagi, pastilah dia tidak bermaksud untuk mengecewakanku. Tapi apa berikutnya?
“Sekarang istirahatlah lagi agak lama dari yang tadi,” sambil berkata begitu jari tangannya memegang erat jari tanganku. Aku menurut saja dan berpikir lagi, pastilah dia tidak bermaksud untuk mengecewakanku. Tapi apa berikutnya?
Kulihat kali ini Ida benar-benar
tertidur. Akhirnya aku mencoba juga untuk tidur. Sempat kulirik
arlojiku. Jam sepuluh lewat sedikit. Beberapa lama kemudian entah karena
dongkol atau lelah karena perasaan “menggantung” akupun tertidur.
Entah berapa lama aku tertidur sampai aku
merasakan ada tubuh yang mendesakku dengan lembut. Ida sudah bangun
rupanya. Dadanya meskipun kecil tapi masih terasa menekan lenganku. Aku
terkejut,
“Jam berapa sekarang?” tanyaku.
“Jam dua belas lewat” jawabnya.
“Jam dua belas lewat” jawabnya.
Berarti sudah dua jam aku tertidur. Ida
menggapai gelas yang ada di meja kecil dekat ranjang, meneguk airnya dan
memberikannya padaku.
“Minum dulu, mulut orang habis bangun tidur bau “.
“Siapa bilang?” kataku sambil mengambil permen yang kuletakkan di dekat gelas tadi, membuka bungkusnya dan memasukkannya ke dalam mulut.
“Ih curang, bagi dong permennya” katanya sambil menciumi bibirku. Kami saling memainkan permen tadi, bergantian mengulumnya sampai akhirnya habis.
“Siapa bilang?” kataku sambil mengambil permen yang kuletakkan di dekat gelas tadi, membuka bungkusnya dan memasukkannya ke dalam mulut.
“Ih curang, bagi dong permennya” katanya sambil menciumi bibirku. Kami saling memainkan permen tadi, bergantian mengulumnya sampai akhirnya habis.
Ida di atasku, menciumi dadaku dan
menjilati putingku. Diganjalnya kepalaku dengan bantal satu lagi
sehingga kepalaku agak ke atas. Aku tidak tahan dengan aksinya sehingga
kutarik mukanya ke mukaku. Kami berciuman dengan penuh gairah. Kaki kami
saling menjepit, kakiku menjepit kaki kirinya dan kakinya juga menjepit
kaki kiriku. Kugesekkan selangkanganku pada pahanya. Ia mendesah.
Gantian sekarang selangkangannya yang menggesek pahaku.
Kami makin terbuai dengan gerakan
masing-masing. Kini kedua kakinya menjepit kakiku. Sementara penisku
yang dari tadi penasaran sudah kembali mengeras. Dalam posisi di atasku
sambil menahan tubuh dengan tangannya Ida menggerak-gerakkan pinggulnya
mencoba memasukkan penisku ke dalam liang kenikmatannya tanpa bantuan
tangannya. Agak sulit memang, tapi ketika kepala penisku sudah mulai
masuk ke dalam liang vaginanya ia memutar-mutar pinggulnya sambil
menekan ke bawah. Kurasakan gerakan peristaltik yang kuat dari otot
kemaluannya. Sampai kemudian seluruh batang penisku terbenam dalam
vaginanya. Ia masih memutar-mutar pinggul dan membuat gerakan naik
turun. Aku meremas, memilin serta mengulum payudaranya. Kami saling
berbagi kenikmatan dengan posisi seperti itu.
“Ouh.. Mmmhh.. Ngngngnhhk” Ida mendesah tertahan.
Aku mencoba duduk dengan Ida tetap dalam
pangkuanku. Kami bisa berpelukan dan berciuman dengan sangat intens. Ida
tetap menggerakkan pinggulnya naik turun. Penisku terasa seperti
dikocok-kocok.
Kurebahkan Ida ke arah yang berlawanan
dengan posisi tidur semula, sehingga kini bantal berada di posisi kaki.
Kugenjot pinggulku naik turun dengan ritme yang berubah-ubah. Kadang
cepat kadang sangat lambat. Tapi setiap gerakanku selalu kubuat agak
tinggi sehingga penisku terlepas dari vaginanya, lalu kutekan lagi.
Setiap penisku dalam posisi masuk, menggesek bibir vaginanya ia terpekik
kecil. Kami berdua sangat menikmati permainan ini.
Kakinya bergerak dan kedua kakinya
kujepit dengan kedua kakiku. Dalam posisi begini aku tidak bisa menarik
penis terlalu tinggi karena susah untuk memasukkannya lagi. Namun dalam
posisi begini jepitan vaginanya jadi sangat terasa.
Kami mengubah posisi lagi. Kali ini kaki
kirinya di luar kaki kananku dan kaki kanannya di dalam kaki kiriku.
Kubelit kaki kirinya dengan kaki kananku dan sebaliknya. Dengan posisi
begini kami bisa menghemat gerakan. Dengan sedikit gerakan saja
rangsangan kenikmatan yang timbul sangat terasa. Kadang kami hanya diam
saja dan cukup menggerakkan otot kemaluan kami untuk saling memberi
rangsangan. Ketika kurasakan akan mencapai puncak kenikmatan kuubah
posisi kaki dalam posisi konvensional. Posisi konvensional ini paling
memungkinkan bagi kami untuk mengekspresikan puncak kepuasan secara
maksimal.
“Ida.. Ouhh nikmat sekali, hebat sekali permainanmu.. “
Kuperkirakan sudah setengah jam kami
bercinta, namun terasa ada energi tambahan yang membuat kami bertahan
untuk tidak segera mencapai puncak. Kupercepat gerakanku dan gerakannya
juga semakin liar.
“Agak ke atas sedikit.. Oooh” pintanya.
Kuikuti saja permintaanya. Aku menggeser
tubuhku agak ke atas bagian tubuhnya, sehingga gerakan penisku menggesek
bagian atas vaginanya. Rupanya dengan posisi ini gesekan penisku dengan
klitorisnya mebuat dia sangat nikmat. Tubuhnya kadang seakan merinding
dan gemetar. Pinggulnya memutar-mutar dan naik seakan-akan menghisap
penisku.
Bunyi deritan ranjang, erangan dan bunyi
selangkangan beradu seakan-akan berlomba. Tubuh kami sudah basah oleh
keringat yang membanjir. Dinginnya udara Puncak tak terasa lagi.
Kurasakan ada gerakan menjalar dalam penisku. Inilah saatnya sebentar
lagi akan kuakhiri permainan ini. Ida terengah-engah menikmati
kenikmatan yang dirasakannya.
“Ida.. Da sebentar lagi aku mau keluar.. “
Gerakanku semakin cepat hingga seakan-akan tubuhku melayang. Lututku mulai sakit.
“Ayolah Anto aku juga mmau kkel.. uar. Kita sama-sama sampai”.
Ketika kurasakan aliran pada penisku tak tertahankan lagi kuunjamkan dalam-dalam sambil memekik tertahan.
“Ida.. Ouh .. Sekarang.. Sekarang”
“Ouh Anto aku.. Keluar”
“Ouh Anto aku.. Keluar”
Kakinya membelit kakiku, kepalanya
mendongak dan pantatnya diangkat. Kurasakan denyutan dalam vaginanya
sangat kuat. Kutembakkan laharku sampai beberapa kali. Giginya
dibenamkan dalam bahuku sampai terasa pedih. Aku merasakan hal yang luar
biasa sepertinya melayang di udara dan rasanya cairan laharku menjadi
lebih banyak. Napas kami masih tersengal-sengal, kucabut penisku dan
menggelosor di sampingnya. Jarinya memegang erat jariku.
“Bagaimana?” tanyanya.
“Wouw.. Luar biasa” jawabku.
“Aku baca dari sebuah buku tentang teknik pijatan untuk melancarkan aliran darah ke penis dan memperbanyak tembakan mani”.
“Pantas saja, rasanya maniku sangat banyak dan senjataku sangat keras. Terima kasih Ida”.
“Wouw.. Luar biasa” jawabku.
“Aku baca dari sebuah buku tentang teknik pijatan untuk melancarkan aliran darah ke penis dan memperbanyak tembakan mani”.
“Pantas saja, rasanya maniku sangat banyak dan senjataku sangat keras. Terima kasih Ida”.
Kami tidur sampai pagi dan rasanya cukup
sekali saja kami bercinta dalam semalam kalau kepuasan yang didapat luar
biasa seperti kali ini. Kuantarkan Ida kembali ke rumahnya. Temannya
yang membukakan pintu kemarin tersenyum-senyum dan melirik genit ke
arahku.
“Boleh dong lain kali ajak kita, masakan
Ida terus yang diajak. Kita punya oke juga lho” katanya sambil melihat
ke arah Ida sambil meleletkan lidahnya.
“Silakan aja kalau Antonya mau”.
“Silakan aja kalau Antonya mau”.
Hmm, dipikir kita takut.
E N D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar